Tips 164: Law of Attraction – The Law of Vibration

PERINGATAN KERAS: TIPS INI SANGAT MUNGKIN AKAN MENGGUNCANG KEYAKINAN YANG SELAMA INI ANDA PEGANG TEGUH TENTANG KESUKSESAN DAN KEBERHASILAN!

(lebih…)

Juli 26, 2007 at 10:57 am Tinggalkan komentar

Pelajaran Dari Mendirikan Perusahaan Start-Up: Lessons Learned from Starting-Up1

>> Pelajaran Dari Mendirikan Perusahaan Start-Up: Lessons Learned
> from Starting-Up1
>>
>> Budi Rahardjo2
>> PT INDO CISC
>> e-mail: budi@…
>> Juni 2003
>>
>> Akhir-akhir ini banyak orang berbicara tentang entrepreneurship.
> Mahasiswa digiring untuk menidirikan usaha sendiri dengan iming-
> iming menjadi Bill Gates kedua. Apakah semudah itu? Jika memang
> semudah itu, mengapa kita belum mendengar cerita sukesnya? Tulisan
> ini mencoba menceritakan suka dukanya membuat usaha sendiri, atau
> yang dikenal dengan istilah mendirikan start-up. Tulisan ini
> berdasarkan kepada pengalaman penulis yang mungkin tidak dapat
> digeneralisir menjadi kaidah umum dalam perjalanan mendirikan
> perusahan. Paling tidak, tulisan ini mencoba menceritakan pelajaran
> yang penulis peroleh. Untuk itu tulisan ini tidak terlalu formal.
>>
>>
>> Daftar Isi
>>
>>
>> Awal Perjalanan
>>
>>
>> Bagian ini akan menceritakan awal perjalanan saya dalam
> mengembangkan start-up, yaitu ketika di Kanada.
>>
>>
>> Software & hardware house: Iqra Biomedical
>>
>>
>> Keinginan saya untuk mendirikan perusahaan dimulai ketika saya
> mengambil pendidikan S2 dan S3 di Kanada. Kala itu saya memiliki
> beberapa teman dari berbagai jurusan; electrical engineering,
> computer science, dan dari kedokteran. Salah seorang dari mereka
> pernah ditugasi dosennya untuk membuat program untuk melakukan
> diagnosa pasien. Program tersebut mengimplementasikan sebuah expert
> system dan mencoba menganalisa penyakit yang diderita oleh pasien
> berdasarkan data-data yang diberikan oleh pasien tersebut. Kami
> pikir program ini bisa diteruskan menjadi sebuah program komersial.
> Selain itu rekan-rekan di kedokteran juga telah menggunakan alat-
> alat elektronik untuk melakukan operasi. Mereka adalah dokter-dokter
> muda yang terbiasa menggunakan komputer (e-mail dan sejenisnya).
> Kemudian timbul ide untuk mengkomputerkan perangkat laparoscopy.
> Dengan modal dua ide ini kami sepakat untuk membuat sebuah usaha
> bersama dengan nama Iqra Biomedical. Modal kami tidak banyak karena
> sebagian besar kami adalah mahasiswa, apalagi saya mahasiswa asing
> yang notabene keuangannya pas-pasan.
>>
>> Langkah pertama yang kami lakukan adalah mendokumentasikan semua
> yang kami miliki dan melakukan pencarian informasi (riset) awal.
> Setelah itu kami menghubungi sebuah institusi yang bernama IRAP,
> Industrial Research Assistance Programme yang merupakan bagian atau
> program dari National Research Council. Misi dari IRAP ini adalah
> membantu industri kecil dan menengah dalam mengembangkan
> kemampuannya di bidang teknologi dan inovasi. Saya lupa berapa yang
> harus kami bayar kepada IRAP waktu itu, mungkin CAN$ 500? (ataukah
> CAN $100?). Yang saya ingat adalah biayanya terjangkau. Kami
> berkonsultasi dengan IRAP tentang kemungkinan teknologi dan bisnis
> kami itu. IRAP kemudian melakukan risetnya dan memberikan hasilnya
> dalam bentuk sebuah dokumen. Dalam dokumen tersebut ditunjukkan
> potensi dari bisnis, kelemahan dari bisnis kami, kompetitor kami,
> pakar-pakar di Kanada yang dapat dihubungi untuk melakukan
> konsultasi teknologi, dan hal-hal lain yang sangat membantu kami
> dalam memfokuskan diri. Kami juga diberi kesempatan untuk banyak
> melakukan konsultasi. Berdasarkan masukan ini, kami meneruskan untuk
> melakukan usaha tersebut. Sebagai catatan, inisiatif seperti IRAP
> ini belum ada di Indonesia. Ataupun kalau ada, saya belum pernah
> mengetahui.
>>
>> Sayangnya dalam perjalanannya usaha kami ini tidak berhasil karena
> beberapa hal, antara lain:
>>
>> * Kami kehabisan dana (untuk menggaji seorang programmer untuk
> melakukan dokumentasi requirement engineering dan menyewat tempat di
> basement rumah). Dugaan kami bahwa pekerjaan dapat selesai dalam
> waktunya ternyata molor.;
>> * Komitmen dari calon pembeli alat (laparoscopy) masih belum
> ada karena alat tersebut terlalu advanced waktu itu (sekarang sudah
> ada yang mencobanya di Itali). Kami mempresentasikannya di depan
> dokter-dokter di sebuah rumah sakit umum di kota kami. Mereka masih
> belum dapat menangkap konsepnya. We were ahead of its time;
>> * Biaya untuk melakukan pengujian di bidang medical sangat
> mahal (karena menyangkut manusia sehingga harus hati-hati); Kami
> harus mendatangkan pakar dari beberapa kota untuk mengevaluasi
> produk jika sudah jadi. Ini terlalu mahal.
>>
>> Akibatnya usaha tersebut berhenti di tengah jalan. Namun kami akan
> mencobanya kembali. Sampai sekarang belum terlaksana.
>>
>>
>> ISP: Canada Overdrive Online
>>
>>
>> Tahun 1995 Internet mulai boleh digunakan untuk keperluan
> komersial. Akses ke Internet mulai dibuka untuk masyarakat umum.
> Mulailah muncul industri akses Internet yang dikenal dengan nama
> Internet Service Provider (ISP). Akhirnya kami pun mendirikan
> perusahaan ISP dengan nama Canada Overdrive Online (COOL) yang
> dimulai dari basement rumah dengan modal sebuah komputer, sebuah
> modem, dan sebuah koneksi ISDN. Sebagai catatan, waktu itu belum ada
> satu ISP yang sangat dominan seperti AOL saat ini. AOL masih kecil
> akan tetapi tumbuh dengan cepat. Waktu itu kami berharap dapat
> menjadi AOL-nya Kanada. Itulah sebabnya nama usahanya agak nyerempet
> AOL.
>>
>> Semenjak Netscape sukses besar dengan IPO (Initial Public
> Offering) di bursa saham, banyak orang yang ingin mendirikan
> perusahaan high-tech dan kemudian melaju ke IPO. Inilah awal dari
> munculnya “dotcom”. Usaha kami pun mulai diminati oleh beberapa
> orang di komunitas. Mulailah kami membuat dokumen bisnis, meresmikan
> bisnis (incorporated), dan menjual saham diantara “friends and
> family”. Terus terang kami tidak mengetahui teori-teori bisnis
> (khususnya start-up) yang kemudian mulai muncul. Bisnis kemudian
> meningkat sehingga kami harus pindah ke sebuah ruko dengan menyewa
> saluran telepon yang lebih banyak.
>>
>> Namun nampaknya bisnis ISP tidak semudah yang disangka. Persaingan
> sangat ketat dan diperlukan investasi terus menerus karena kemajuan
> teknologi. Modem yang tadinya hanya 9600 bps, harus diganti ke 33,6
> kbps. Baru selesai pergantian (investasi), harus diganti lagi dengan
> 56 kbps. Implikasinya adalah keuntungan tak kunjung datang karena
> keuntungan harus diinvestasikan kembali. Bahkan untuk menjaga agar
> kompetitif dan break even, kami harus meningkatkan jumlah saluran
> telepon.
>>
>> Pada akhirnya bisnis kami ini harus kami jual kepada orang lain
> karena kami tidak mampu mengurusi sisi bisnisnya. Kami kebetulan
> adalah orang-orang teknis yang melihat kesempatan (opportunity),
> akan tetapi tidak memiliki latar belakang bisnis yang cukup kuat
> untuk menghadapi tantangan bisnis.
>>
>> Pelajaran yang saya peroleh dari bisnis ini:
>>
>> * Bisnis ISP merupakan bisnis yang tidak terlalu
> menguntungkan. Itulah sebabnya saya cukup heran ketika kembali ke
> Indonesia dan banyak orang ingin mendirikan ISP. Saya berikan saran-
> saran berdasarkan pengalaman saya. Namun iming-iming untuk menjadi
> sukses lebih dominan.
>> * Bisnis yang sangat ditentukan oleh teknologi seperti ini
> harus selalu merencanakan perkembangan teknologi agar tidak
> melakukan investasi terus menerus dan tidak kunjung break-even.
>> * Sebaiknya bisnis dijalankan oleh orang yang mengerti bisnis,
> bukan oleh techie (orang teknis). Atau, jika sang techie ingin
> menjalankannya, maka dia harus mengerti bisnis. Atau, mungkin
> pelajaran bisnis dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan
> teknis.
>>
>>
>> Web hosting: Iscom
>>
>>
>> Model bisnis berikutnya yang mulai berkembang waktu itu adalah web
> hosting. Maka saya pun tidak ketinggalan. Beserta kawan-kawan
> (sesama mahasiswa Indonesia yang besekolah di luar negeri) yang
> tersebar di berbagai penjuru dunia mulai berkeinginan untuk terjun
> ke usaha web hosting lengkap dengan programmingnya dengan nama
> Iscom. Lagi-lagi dimulai dari mengumpulkan dana sesama mahasiswa
> Indonesia.
>>
>> Sayangnya bisnis ini juga gagal. Bagi saya sangat berat untuk
> mempertanggung-jawabkan hilangnya uang rekan-rekan yang dititipkan
> di bisnis ini. Kali ini kegagalan disebabkan oleh:
>>
>> * Tidak adanya yang mau menekuni sisi bisnis. Kala itu saya
> sendirian menjalankan hampir semuanya, mulai dari setup sistem
> sampai ke marketing;
>> * Waktu itu belum banyak orang Indonesia yang mengenal
> Internet, apalagi web hosting. Lagi-lagi, kami terlalu advanced;
>> * Model bisnis dari web hosting ternyata juga masih belum
> jelas.
>>
>>
>> Perjalanan Berikutnya
>>
>>
>> Akhir tahun 1997, saya kembali ke Indonesia di tengah badai krisis
> moneter. Kegagalan membuat bisnis di Kanada tersebut tidak membuat
> saya jera. Saya coba kembali membuat beberapa usaha di Indonesia.
>>
>>
>> Konsultan: Insan Komunikasi, Insan Infonesia
>>
>>
>> Sebelum pulang ke Indonesia, kami sempat mendirikan sebuah
> perusahaan yang memfokuskan diri ke jasa konsultasi teknologi
> informasi dengan nama Insan Komunikasi (dimana ada kemiripan nama
> dengan Iscom) yang kemudian akhirnya berganti nama menjadi Insan
> Infonesia. Kali ini kami memulai dari keluarga sendiri dengan
> langkah yang perlahan-lahan. Perusahaan ini sampai sekarang masih
> bertahan, meski masih kecil. Mudah-mudahan perusahaan ini bisa
> menjadi contoh sukses.
>>
>>
>> Venture Capital: INDOCISC
>>
>>
>> Bisnis dotcom mulai meledak di tahun 1999 dan 2000. Muncullah
> entity yang bernama venture capital di dalam peta bisnis Information
> Technology (IT) di Indonesia. Venture capital sendiri sebetulnya
> bukan sesuatu yang baru di dunia IT. Namun di Indonesia, ini masih
> sesuatu yang baru. Saya pun kemudian terbujuk untuk mencoba usaha
> dengan bantuan venture capital dari Korea. Tadinya saya tidak
> berkeinginan untuk membuat usaha ini karena toh sudah ada perusahaan
> (Insan Komunikasi, lihat bagian sebelumnya). Namun akhirnya saya
> tertarik juga untuk mencoba bekerja-sama dengan venture capital.
> Mulailah kami membuat badan usaha yang bernama INDOCISC dengan
> bidang: community system development dan security. (Pada akhirnya
> kami memfokuskan pada bidang security.)
>>
>> Dari INDOCISC ini kami juga mengembangkan badan usaha lain yang
> bergerak dalam bidang pengembangan komunitas dan SDM, serta
> penempatan SDM IT di luar negeri. Sayangnya badan usaha lain ini
> tidak berjalan dengan semestinya. Hal ini disebabkan karena:
>>
>> * Kurangnya orang yang fokus dalam penjalankan bisnis
> tersebut. Kesulitan mendapatkan SDM yang dapat menjalankan bisnis
> merupakan salah satu kendala besar. SDM yang berkutat di bidang
> teknis tidak terlalu masalah (meskipun masih kekurangan juga);
>> * Jatuhnya bisnis dotcom (bubble bust) di seluruh dunia
> sehingga membuat banyak perusahaan IT tutup;
>> * Ketidak-cocokan antar pendiri dan pemegang saham. Ketika
> masalah muncul, maka mulai nampak karakter dari masing-masing.
> Kecocokan pada tahap awal belum menjadi jaminan akan cocok terus.
> Hal ini sudah berulang kali terjadi.
>>
>> INDOCISC sendiri akhirnya memfokuskan diri dalam bidang security
> dan tidak menangani lain-lainnya (meskipun kami bisa). Adanya fokus
> ini ternyata membawa berkah karena dia menjadi dikenal dalam bidang
> security. Untuk pekerjaan yang non-security, INDOCISC bekerjasama
> dengan perusahaan-perusahaan lain yang lebih fokus dan kompeten di
> bidangnya. Misalnya, jika ada yang menawarkan pekerjaan untuk
> melakukan desain web, kami sarankan untuk menghubungi partner kami
> yang memang fokus kepada usaha tersebut. Pelajaran baik yang dapat
> dipetik:
>>
>> * Fokuskan pada satu bidang atau kompetensi tertentu. Jangan
> mau semua (meskipun bisa). Dalam bahasa Inggris dikenal
> peribahasa: “Jack of all trades, master of none”.
>> * Giat dalam bidang Research & Development (R&D). Kami tahu
> bahwa kekuatan dari kami adalah pada sisi R&D nya.
>> * Dekat dengan perguruan tinggi merupakan salah satu
> keuntungan untuk mendapatkan SDM (untuk melakukan R&D), teknologi,
> dan ide-ide. Perguruan tinggi merupakan tempat yang relatif aman dan
> murah untuk menguji dan mengeksplorasi ide. Mahasiswa merupakan
> tenaga murah yang dapat dilibatkan dalam pengembangan. Sementara itu
> mahasiswa senang dilibatkan karena dia mendapatkan pengalaman
> industri yang nantinya bisa menjadi track record dia ketika dia
> selesai.
>>
>>
>> Pengamatan lain dalam perjalanan ini
>>
>>
>> Selain mendirikan perusahaan, saya masih aktif mengajar dan
> meneliti di perguruan tinggi. Dalam pergaulan di kampus dan dengan
> industri ada beberapa komentar yang dapat saya tangkap:
>>
>> * Kadang-kadang perguruan tinggi menjadi pesaing bagi industri
> kecil dan menengah. Ini dianggap kurang fair bagi entrepreneur.
> Bukannya mereka dibantu, mereka malah disaingi oleh perguruan
> tinggi. Ada istilah entrepreneur university yang menurut saya agak
> keliru. Ternyata yang dimaksud dengan entrepreneur university adalah
> sang perguruan tinggi-nya lah yang menjadi entrepreneur. Padahal
> seharusnya mahasiswanya, lulusannya, dan mungkin dosennya yang
> didorong dan didukung untuk menjadi entrepreneur, bukannya malah
> ditandingi. Situasi ini tidak kondusif.
>> * Beberapa perguruan tinggi mengungkapkan ingin mendorong
> mahasiswanya untuk menjadi entrepreneur. Namun pada kenyataannya
> belum ada laboratorium atau kurikulum yang mendukung ke arah sana.
> Jadi pernyataan atau keinginan tersebut masih terbatas pada lip
> service. Hal ini perlu diubah jika memang perguruan tinggi serius
> ingin menciptakan entrepreneurs.
>> * Perguruan tinggi masih belum serius dalam mengijinkan
> stafnya (dosen) untuk terjun membuat usaha (menjadi entrepreneur).
> Perlu dibedakan antara dosen yang mengerjakan proyek (mroyek) dan
> dosen yang ingin mengembangkan industri dimana dia merupakan salah
> satu pemain di industri tersebut. Keduanya masih dianggap sama.
> Padahal yang terakhir ini bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan
> menjadi contoh nyata (riil) bagi mahasiswa. Kesuksesan seorang dosen
> masih diukur dengan ukuran konvensional (seperti jumlah makalah).
>> * Belum adanya insentif dan program dari Pemerintah. Yang ada
> baru program-program yang sekedar “wah” (sehingga nama pejabat yang
> bersangkutan dikenal) namun tidak memiliki visi dan langkah yang
> jelas dan nyata bagi pelaku bisnis.
>> * Kebanyakan mahasiswa masih berjiwa “ingin kerja ke
> perusahaan orang lain”. Opsi mengembangan usaha sendiri baru muncul
> belakangan ini dan masih belum populer.
>>
>>
>> Pelajaran Yang Diperoleh
>>
>>
>> Pada bagian ini saya ingin merangkumkan pelajaran yang kami
> peroleh dalam mendirikan menjalankan start-up. Beberapa sebab
> kegagalan, antara lain:
>>
>> * Teknologi dan produk yang dihasilkan terlalu advanced
> sehingga belum diminati. Biasanya produk ini di-drive oleh para
> insinyur (techie, engineers).
>> * Belum ada inisiatif dari Pemerintah Indonesia untuk membantu
> industri kecil seperti ini. Bahkan, ada “gangguan” seperti
> perpajakan untuk perusahaan yang baru tumbuh. Seharusnya ada
> inisiatif untuk membantu industri kecil dengan menangguhkan
> perpajakan sampai perusahaan yang bersangkutan benar-benar stabil
> (misalnya dengan membebaskan dari pajak sampai 10 tahun seperti
> dilakukan di Malaysia atau Taiwan). Adanya insentif ini membuat
> pelaku bisnis semangat untuk melakukan investasi dan membuka
> lapangan kerja. Topik ini merupakan hal yang penting dan perlu
> dibahas secara terpisah.
>> * Belum ada bantuan dari Pemerintah Indonesia, seperti halnya
> adanya program IRAP (Industrial Research Assitance Program) di
> Kanada. Program bantuan yang ada masih bersifat proyek yang selesai
> setelah dana berhenti. Industri kecil terpaksa belajar sendiri dari
> kegagalannya. Jika digabungkan kegagalan-kegagalan yang dialami oleh
> semua industri kecil, jumlahnya akan besar. Ini merupakan pelajaran
> yang sangat mahal.
>> * Kurangnya SDM yang dapat menjalankan bisnis (bukan sisi
> teknis) yang mengerti teknologi. (Kemana saja lulusan ekonomi dan
> management?)
>> * Keharmonisan antara pendiri, pemegang saham, dan yang
> menjalankan bisnis belum tentu langgeng. Perlu dibuatkan aturan main
> (sistem) yang disepakati bersama pada awalnya sehingga tidak terjadi
> perpecahan di tengah jalan.
>> * Kehebatan teknis bukan menjadi jaminan kesuksesan sebuah
> bisnis.
>>
>> Sementara itu pelajaran lain yang diperoleh dari usaha mendirikan
> start-ups antara lain:
>>
>> * Pendirian usaha biasanya dimulai dari beberapa orang yang
> memiliki ide. Kemudian pendanaan dimulai dari beberapa orang ini
> ditambah dari kawan-kawan. Istilah yang umum adalah dari “friends
> and family”. Nampaknya ini adalah rule of thumb dalam mendirikan
> start-up. (Banyak buku yang membahas hal ini dan teori yang ada di
> buku tersebut memang benar karena telah saya alami.)
>> * Fokus kepada satu bidang atau kompetensi merupakan salah
> satu kunci kesuksesan. Jangan rakus dan mau semua.
>> * Orang teknis sebaiknya diberi bekal atau pengetahuan
> (wawasan) tentang bisnis. Pendidikan di perguruan tinggi yang
> memiliki jurusan teknis perlu diubah untuk mengakomodasi hal ini.
>>
>>
>> Kesimpulan
>>
>>
>> Mendirikan sebuah usaha start-up ternyata tidak mudah. Banyak hal
> yang tidak diketahui pada saat mendirikan perusahaan. Banyak
> perusahaan start-up yang mati di tengah jalan dikarenakan berbagai
> alasan yang telah diuraikan pada tulisan ini.
>>
>> Saya pribadi masih terus belajar (dan siap jatuh bangun)
> mengembangkan bisnis yang bernuansa teknologi. Mudah-mudahan apa
> yang saya jalankan dapat menghasilkan sesuatu yang sukses besar
> sehingga dapat dijadikan contoh untuk memotivasi calon-calon
> entrepreneur baru.

Juli 13, 2007 at 6:07 am 3 komentar

Kyoiku Mama

Di antara banyak faktor yang berperan membuat Jepang menjadi raksasa ekonomi di paruh kedua abad XX adalah etika kerja dari karyawan yang stereotip.

Orang-orang yang biasa berbaju biru tua inilah yang merupakan mesin penggerak salah satu sukses ekonomi terbesar dalam sejarah modern. Beginilah bunyi cerita yang telah melegenda, sebelum datang kesaksian dari Tony Dickensheets. Dia adalah seorang pendidik Amerika di Charlottesville, Virginia.

Peran ibu
Pada tahun 1996 dia berkesempatan beberapa bulan menetap di Jepang. Selama itu, ia berpindah-pindah tinggal di beberapa rumah keluarga karyawan. Berdasar pengamatannya, dia berkesimpulan, unsur kunci dari economic miracle Negeri Sakura ini ternyata telah diabaikan atau paling sedikit amat dianggap enteng, yaitu peran kyoiku mama atau education mama.
Dengan kataan lain, pertumbuhan ekonomi Jepang yang luar biasa sejak 1960, bukanlah hasil kebijakan pemerintah melalui pekerja yang bersedia bekerja 16 jam per hari. Sementara para suami bekerja, para istri bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak. Dalam kapasitas sebagai ibu inilah para istri membaktikan hidupnya demi kepastian keturunan mampu memasuki sekolah-sekolah bermutu.
Maka di balik karyawan Jepang yang beretika kerja terpuji itu ada perempuan umumnya, kyoiku mama atau education mama khususnya. Mereka inilah yang merupakan pilar-pilar kukuh yang menyangga para karyawan itu. Merekalah yang membantu perkembangan ekonomi yang luar biasa dari bangsanya sesudah Perang Dunia. Kerja dan pengaruh perempuan Jepang dapat dilihat dalam jalannya pendidikan nasional dan stabilitas sosial, yaitu dua hal yang sangat krusial bagi keberhasilan ekonomi sesuatu bangsa.
Jadi, perempuan Jepang ternyata berperan positif dalam membina dan mempertahankan kekukuhan fondasi pendidikan dan sosial yang begitu vital bagi kinerja kebangkitan ekonomi bangsanya. Ketika saya sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan diundang untuk meninjau berbagai lembaga pendidikan dasar, menengah, dan tinggi negeri ini, saya kagum melihat kebersihan ruang laboratorium di sekolah umum dan bengkel praktik di sekolah kejuruan teknik.
Semua murid membuka sepatu sebelum memasuki ruangan dan menggantinya dengan sandal jepit yang sudah tersedia di rak dekat pintu, jadi lantai tetap bersih bagai kamar tidur. Ketika saya tanyakan kepada guru yang mengajar di situ bagaimana cara mendisiplinkan murid hingga bisa tertib, dia menjawab, “Yang mulia, saya hampir tidak berbuat apa-apa dalam hal ini. Ibu-ibu merekalah yang telah mengajar anak-anak berbuat begitu.”
Saya teringat sebuah kebiasaan di rumah tradisional Jepang, alih-alih menyapu debu di lantai, mereka masuk rumah tanpa bersepatu/bersandal agar debu tidak masuk rumah. Bagi mereka, kebersihan adalah suatu kebajikan.
Di toko buku, saya melihat seorang ibu sedang memilih-milih buku untuk anaknya, seorang murid SD. Ketika saya sapa, dia menyadari saya orang asing, dia tegak kaku dengan tersenyum malu-malu. Ibunya datang mendekati dan menekan kepala anaknya agar membungkuk berkali-kali, sebagaimana layaknya orang Jepang memberi hormat, sambil mengucapkan sesuatu yang lalu ditiru anaknya. Setelah mengetahui saya seorang menteri pendidikan dan kebudayaan, entah atas bisikan siapa, banyak anak menghampiri saya, antre, memberi hormat dengan cara nyaris merukuk, meminta saya menandatangani buku yang baru mereka beli.

Perempuan dan pendidikan
Lebih daripada di negeri-negeri lain, kelihatannya sistem pendidikan dan kebudayaan Jepang mengandalkan sepenuhnya peran perempuan dalam membesarkan anak. Karena itu dipegang teguh kebijakan ryosai kentro (istri yang baik dan ibu yang arif), yang menetapkan posisi perempuan selaku manajer urusan rumah tangga dan perawat anak-anak bangsa. Sejak dulu filosofi ini merupakan bagian dari mindset Jepang dan menjadi kunci pendidikan dari generasi ke generasi. Pada paruh kedua abad XX peran kerumahtanggaan perempuan Jepang kian dimantapkan selaku kyoiku mama atau education mama. Menurut Tony Dickensheets, hal ini merupakan “a purely Japanese phenomenon”.
Yang memantapkan itu adalah kesadaran para ibu Jepang sendiri. Mereka menilai diri sendiri dan, karena itu, dinilai oleh masyarakat berdasar keberhasilan anak-anaknya, baik sebagai warga, pemimpin, maupun pekerja. Banyak perempuan Jepang menganggap anak sebagai ikigai mereka, rasionale esensial dari hidup mereka. Setelah menempuh sekolah menengah, kebanyakan perempuan Jepang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Jika di Barat ada anggapan perempuan berpendidikan akademis yang melulu tinggal di rumah membesarkan anak sebagai wasting her talents, di Jepang orang percaya, seorang ibu seharusnya berpendidikan baik dan berpengetahuan cukup untuk bisa memenuhi tugasnya sebagai pendidik anak-anaknya. Kalaupun ada ibu yang mencari nafkah, biasanya bekerja part time agar bisa berada di rumah saat anak-anak pulang sekolah. Tidak hanya untuk memberi makan, tetapi lebih-lebih membantu mereka menyelesaikan dan menguasai PR dan atau menemani mengikuti pelajaran privat demi penyempurnaan pendidikannya.

Membantu ekonomi bangsa
Perempuan Jepang membantu kemajuan ekonomi bangsa dengan dua cara, yaitu melalui proses akademis dan proses sosialisasi. Bagi orang Jepang, aspek sosialisasi pendidikan sama penting dengan aspek akademis, sebab hal itu membiasakan anak-anak menghayati nilai-nilai yang terus membina konformitas sikap dan perilaku yang menjamin stabilitas sosial.
Mengingat kyoiku mama mampu membina kehidupan keluarga yang relatif stabil, sekolah tidak perlu terlalu berkonsentrasi pada masalah pendisiplinan. Lalu, para guru punya ketenangan dan waktu cukup untuk membelajarkan pengetahuan, keterampilan, kesahajaan, pengorbanan, kerja sama, tradisi, dan lain-lain atribut dari sistem nilai Jepang.
Menurut Tony Dickensheets, sejak dini para pelajar Jepang menghabiskan lebih banyak waktu untuk kegiatan sekolah daripada pelajar-pelajar Amerika. Lama rata-rata tahun sekolah anak Jepang adalah 243 hari, sedangkan anak Amerika 178 hari. Selain menambah kira-kira dua bulan dalam setahun untuk sekolah, sebagian besar waktu libur anak- anak Jepang diisi dengan kegiatan bersama teman sekelas dan guru. Bila pekerja/karyawan berdedikasi pada perusahaan, anak-anak berdedikasi pada sekolah. Mengingat tujuan sekolah meliputi persiapan untuk hidup bekerja, anak didik Jepang bisa disebut pekerja/karyawan yang sedang dalam proses training.
Walaupun pemerintah yang menetapkan tujuan sistem pendidikan Jepang, keberhasilannya ditentukan oleh orang-orang yang merasa terpanggil untuk menangani pendidikan. Jika bukan guru, sebagian terbesar dari mereka ini, paling sedikit di tingkat pendidikan dasar, adalah perempuan, ibu-ibu Jepang, kyoiku mama. Mereka inilah yang membentuk masa depan Jepang, melalui jasanya dalam pendidikan anak-anak.
Maka sungguh menarik saat di tengah gempita perayaan keberhasilan gadis Jepang menjadi Miss Universe 2007 di Meksiko, ada berita ibu-ibu Jepang mencela peristiwa itu sebagai penghargaan terhadap kesekian perempuan belaka, bukan penghormatan terhadap kelembutan dan prestasi keperempuanan Jepang.
Celaan itu pasti merupakan cetusan nurani kyoiku mama. Berita ini bisa dianggap kecil karena segera menghilang. Namun di tengah pekatnya kegelapan, sekecil apa pun cahaya nurani tetap bermakna besar.

Daoed Joesoef Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Penulis Buku “Emak”

Juli 11, 2007 at 7:21 am 1 komentar

Success: The Japanese Way

Orang Jepang sangat identik dengan pekerja keras. Meskipun Jepang pernah terpuruk karena bom yang terjadi di Nagasaki dan Hirosima, ini tak menyurutkan Jepang untuk menjadi negara yang disegani dunia. Jepang saat ini berhasil membuktikan diri sebagai negara yang luar biasa. Bagaimana tidak? Anda dapat lihat perkembangan teknologi yang pesat di negara ini. Banyak inovasi besar bermula di Jepang. Belum lagi ditambah merek-merek asal Jepang yang merambah pasar dunia. Sebut saja, Honda, Toyota, Sony yang menguasai pasar dunia. Perusahaan-perusahaan Jepang memiliki visi menjadi perusahaan global yang terbaik di bidangnya masing-masing.

Di industri otomotif, Amerika agaknya perlu berhati-hati dengan langkah Jepang yang sangat ekspansif dan inovatif. Data terakhir menunjukkan bahwa Toyota saat ini memiliki dominasi pasar yang lebih besar di bandingkan dengan General Motor atau Ford Company. Belajar dari kisah suksesnya perusahaan global dari Jepang, paling tidak kita akan melihat beberapa persamaan diantaranya adalah fokus menciptakan produk unggulan yang berkualitas tinggi, kreativitas, keunikan dan inovasi, serta merek yang mengglobal.

Selain dikenal karena karakter pekerja kerasnya, perusahaan Jepang juga memiliki kerjasama yang erat dengan sesamanya perusahaan Jepang. Sedapat mungkin mereka akan menggunakan produk hasil kerjasama dengan perusahaan Jepang lainnya. Bila Anda mengamati mobil buatan Jepang, Anda akan menemukan bahwa suku cadang dalam mobil tersebut juga berasal dari perusahaan Jepang lainnya. Sebuah mobil produksi Toyota misalnya akan menggunakan sukucadang dari Denso, Yuasa, Bridgestone. Beberapa perusahaan Jepang saling memiliki saham di perusahaan Jepang lainnya. Model ini yang banyak dikenal dengan istilah cross shareholding. Sungguh sebuah kerjasama yang hebat. Ikatan antar sesama perusahaan Jepang memang dikenal sangat kuat. Sampai-sampai beberapa rekan pernah mengatakan bahwa bila Anda berhasil menjalin kerjasama yang baik dengan salah satu perusahaan Jepang, maka biasanya ini akan menjadi referensi bisnis yang efektif bagi Anda untuk dapat menjalin kerjasama yang lebih luas ke perusahaan Jepang lainnya.

Pola berkembangnya perusahaan-perusahaan Jepang menjadi inspirasi bagi banyak organisasi dunia. Prof. Jeffrey K. Liker dalam bukunya The Toyota Way mengulas secara lengkap bagaimana kinerja Toyota dalam membangun sebuah korporasi kelas dunia. Toyota adalah salah satu perusahaan Jepang yang menarik untuk dipelajari selain Honda, Sony, Matsushita. Mulai dari proses produksi, pembangunan standard kerja yang kokoh, sumber daya manusia yang berkualitas, inovasi sampai dengan continuous improvement, perusahaan Jepang memang ahlinya.

Bagaimana dengan organisasi kita yang ada di Indonesia? Siapkah kita mengglobal? Dengan kerja keras serta didukung SDM yang berkualitas, perusahaan lokal juga sejatinya memiliki kesempatan yang sama dengan perusahaan asal Jepang untuk mengglobal. Tentu SDM kita menjadi ujung tombak dalam menggerakkan inovasi dalam organisasi. Dengan mengadopsi dan mengadaptasikan nilai-nilai yang menjadi kunci keberhasilan dari perusahaan Jepang ke perusahaan lokal, niscaya kitapun dapat mengelola organisasi dengan lebih baik dan membawanya ke tingkat yang lebih tinggi agar dapat berkompetisi dengan perusahaan kelas dunia lainnya. Ketika organisasi di negara seperti Jepang dapat melakukannya, tertinggallah sebuah pertanyaan besar bagi kita semua. Apakah kita sebagai individu merupakan bagian dari SDM yang berkualitas atau malah sebaliknya? Apakah etos kerja kita sudah selevel dengan Jepang? Apakah kita berorientasi pada inovasi? Apakah kita concern untuk membangun merek yang mengglobal? (MJ)

Salam Transformasi!

Men Jung, S.Kom., MM
Transformation Coach & People Development Trainer
http://www.menjung.com

Juli 11, 2007 at 6:21 am Tinggalkan komentar

Transformasi Entrepreneur TP Rachmat (mantan CEO Astra)

Tanpa bermaksud promosi, saya sangat menyarankan teman-teman untuk membaca wawancara TP Rahmat (mantan CEO Astra International & Founder ADIRA Finance)
di Majalah SWA edisi 15-28 Maret 2007.

Saya sangat kagum pada beliau, walaupun sudah berusia 63 tahun, sudah sangat sukses bertransformasi dari professional mjd entrepreneur dan memiliki puluhan perusahaan-perusahaan besar, beliau tetap BELAJAR TERUS dengan menyediakan waktu 2 jam sehari untuk membaca buku dan majalah. Sangat mengagumkan!

Banyak yang bisa kita pelajari dari beliau:
“Jangan wishful thinking tapi juga jangan pernah putus asa.
Jangan sampai ikutan euforia tanpa menghitung secara cermat.
Perjalanan bisnis itu panjang….

Pesan untuk kita semua dari beliau yang ingin mendirikan bisnis baru:
Pertama, model bisnisnya itu benar atau tidak.
Kalau mendirikan bisnis yang melawan produk dari Cina itu sulit.
Kalau memilih yang compliment dengan produk dari Cina itu relatif mudah.

Terkadang Indonesia ini memang negara yang banyak berisi orang jenius tapi terlalu “lugu”.
Menyedihkan sekali melihat TEMPE kita yang patenkan malah orang Jepang,
dan BATIK kita juga sudah dipatenkan oleh orang Malaysia,
Baru tahu kan, Mas?
Yah itulah karma nya karena kita sering bajak produk orang lain…

Dunia ini adil, Mas..
Apa yang kita tabur, itulah yang tuai…
Klo kita nipu orang suatu saat kita juga akan ditipu orang…
Kalau kita bantu orang, suatu saat kebaikan itu juga akan berbalik ke kita…

Saya percaya dengan Ilmu Fisika,
Menurut hukum kekekalan energi, energi itu tidak dapat diciptakan & tidak dapat dimusnahkan. Kalau kita pernah dijahati orang, maka kita pun merekam perberbuatan jahat tsb dalam otak Anda, yah energi jahat itu tidak akan pernah hilang dari muka bumi dan suatu saat akan berbalik kepada Anda sendiri, entah itu pada saat Anda masih hidup atau pada saat Anda di akherat…

Demikian pula sebaliknya, bila Anda mengeluarkan energi positif, memuji secara tulus orang lain atas prestasinya, hal tersebut akan membuat orang tersebut senang dan ia akan berbunga-bunga terus sepanjang hari, ia akan menebarkan energi positif pula ke Anda dan orang lain…

Masih banyak lagi produk-produk yang diciptakan oleh orang ndesa tapi justru paten nya milik orang asing, pantas saja negara ini tidak maju-maju…

Kalau sudah tidak maju, terus menyalahkan pemerintahnya tidak mau bantu, padahal dirinya sendiri toh yang ngga mikir untuk maju, terlalu lugu, dikira semua orang di dunia ini baik…

Lha di Cina & India saja dulu pemerintahnya tidak pernah mikirin SMB-nya kok, kenapa kita pengusaha malah jadi manja yah? Entrepreneur kan sudah terbiasa tahan banting, Mas..
Apalagi Cina yang tahun 1980-an masih komunis, boro2 mikirin SMB, enterprise yang segede2 gajah aja ditindas habis karena semua bisnis pelayanan publik harus dikuasai/dimonopoli oleh negara…
Pemerintah Cina baru terbuka matanya ketika banyak entrepreneur2 berbondong2 berkumpul datang menemui PM Cina pada saat itu…
Sejak saat itu Cina membuka pintu ekonominya.
Kehidupan ekonomi berubah seperti langit dan bumi,
investor asing diundang untuk membangun infrastruktur hingga ke pedesaan…
Pemerintah kita sudah bagus mau bantu, masih sering bikin pameran produk-produk daerah di Semanggi Expo, JCC, dan PRJ, booth nya gratis kok,
Anda saja yang tidak pernah mau cari tahu…
Saya liat pemerintah kita bisa bikin pameran minimal sekali per bulan di tempat yang berbeda2…
Lah klo urusan follow-up masa masih minta di-closing-in pemerintah juga toh, Mas??
Mereka kan juga masih punya banyak kerjaan yg lain nya, seperti penggangguran yg 46 juta, 90 juta penduduk Indonesia yang hiidup di bawah garis kemiskinan, 2,6 juta bayi kurang gizi, 10 anak putus sekolah setiap menit serta bencana alam, illegal logging sebesar 200 kali lapangan bola setiap menit, tingkat pembajakan software yang sudah masuk Watch List, kerusuhan, & serangan teroris yang datang silih berganti, piye toh…

Buktinya, pertumbuhan ekonomi kita sudah jauh lebih tinggi lho daripada Malaysia, Vietnam, Jepang, Thailand, dan Singapura…
Bukankah wajar kalau kita bisa terus meningkatkan ekonomi mikro, kita pantas untuk memiliki sikap OPTIMIS karena dalam waktu 10-20 tahun kita pasti bisa mengejar tingkat kesejahteraan seperti negara-negara maju di Asia Tenggara lainnya??

Pemerintah kita sudah jauh lebih bagus daripada jaman Orde Baru, Mas, sekarang media bebas terbit, akhirnya banyak sekali majalah-majalah baru yang bermunculan mulai dari majalah bisnis, peluang usaha, franchisem IT sampai marketing, informasi semakin mudah didapatkan, akses internet sudah semakin murah, kurang apalagi toh?

Yang kurang dari kita yah tinggal berpikir POSITIF, saya senang pada tulisan Bapak Faisal Basri di Kompas, akhirnya setelah begitu banyak pakar2 ekonomi bisanya hanya menjelek-jelekkan pemerintah, Faisal Basri malah berani tampil sebagai satu-satunya pengamat ekonomi makro yang bilang pertumbuhan ekonomi kita meningkat, industri telekomunikasi meningkat 20%, walaupun di sisi lain manufaktur kita memang hancur2an, banyak pemilik pabrik memindahkan pabriknya ke Cina atau ke Vietnam karena biaya produksi di sana jauh lebih murah.

Yah itu kan karena mental orang Indonesia yang egois & hanya berpikir jangka pendek,
lihat saja buruh kita kualitas kerja nya bagaimana, tapi tiap tahun malah minta naik gaji terus, lihat saja lulusan-lulusan S1 kita bagaimana, yang ditanyakan selalu gaji dulu padahal ketika diberi kerjaan kerjanya tidak becus & cenderung asal2an…
Dikasih 6 hari kerja, pada demo minta 5 hari kerja, bila perlu ngga kerja tapi gaji jalan terus…
benar-benar tidak punya etos kerja bangsa ini.
Bandingkan dengan tenaga kerja di Jepang, Cina, Vietnam & Korsel yg sangat workaholic, pemerintahnya mau menerbitkan aturan 5 hari kerja, karyawannya malah demo minta mereka bisa tetap bekerja 5 hari.
Pemerintahnya ingin menaikkan standar gaji, mereka malah demo agar gaji tetap supaya investor asing betah berinvestasi di negaranya…
Mereka mengganggap bekerja adalah bentuk perjuangan mereka untuk bangsanya, bahkan mereka rela mati menjadi prajurit kamikaze demi negaranya, suatu nilai patriotik yang tidak kita punya di negeri BBM ini…

Pantaslah, kalau Korsel yang paling terpuruk pada krisis moneter 1998 sekarang bisa menjadi negara yang sangat diperhitungkan di Asia, Samsung & LG bahkan begitu menggurita melalap habis pasar elektronik dunia yang sebelumnya dikuasai Sony & Matsushita…

Pantaslah, bila Cina sebuah negara miskin pada 1995, hanya dalam waktu 10 tahun bisa menjadi macan Asia yang menjadi negara ketiga yang bisa meluncurkan satelit sendiri & satu-satunya negara di dunia dengan reaktor nuklir terbanyak yang tidak berani diganggu gugat oleh Amerika…

Pantaslah, bila Vietnam diguyur investasi milyaran dollar US oleh Google, SUN, Apple, & Microsoft menggantikan investasi head office mereka di Cina & India yang harga tanahnya sudah terlalu tinggi…

Pantaslah, bila ratusan konglomerat2 Indonesia yang punya kekayaan total sebesar 341 triliun lebih memilih tinggal di Singapura. Pantas pula bila konglomerat2 Indonesia berbondong2 mendirikan pabrik milyaran dollar US di Cina, Vietnam, bahkan Nigeria!!!

Kalau mau mengeluh ke pemerintah, lebih baik lewat jalur Asosiasi karena mereka punya bargaining position yang lumayan kuat di government,
lihat saja bagaimana sebuah asosiasi retail bisa mendikte pemerintah kita untuk mencabut regulasi yg menghambat pertumbuhan retail2 besar,
akhirnya yah retail2 kecil pada keteran kan?
Asosiasi pengusaha open source juga terbukti sukses besar memaksa pemerintah kita untuk membatalkan sepihak MoU Microsoft-Indonesia,
betapa kuatnya kan pengusaha2 kita bila mau bersatu?

Warmest Regards,

Wilson Partogi Hutadjulu
Microsoft Student Ambassador
HP Youth Ambassador

CEO LADOVA IT Solutions
1st Prize Business Start-Up Award 2006*
(Young Entrepreneur Start-Up Award 2006)
*from Indonesia Business Links & Shell Livewire

Juli 7, 2007 at 9:07 am 3 komentar


Kategori

  • Blogroll

  • Feeds